Jumat, 23 Mei 2008

Membangun Rezim Anti Pencucian Uang Di Indonesia Oleh Raimond Flora Lamandasa, SH

(Artikel ini ditulis penulis pada tgl 20 Juni 2007 dan dipublikasi di www.morowali.com).
Hari ini, Selasa tanggal 20 Juni 2007 bertempat di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta diadakan seminar sehari tentang pencucian uang (money laundering), kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Memang sejak diundangkannya UU No.15 tahun 2002 yang telah dirubah dengan UU No.25 tahun 2003, istilah money laundering di Indonesia semakin menggaung. Salah satu penyebabnya adalah karena sejak tahun 2001, Indonesia dimasukkan dalam daftar hitam (black list) Financial Action Task Force (FATF) suatu lembaga yang dibentuk oleh negara-negara G7, dimana Indonesia dinyatakan sebagai salah satu surga tempat pencucian uang di dunia. Dampak dimasukannya Indonesia dalam black list ini salah satunya dari sisi ekonomis terjadi peningkatan biaya transaksi lembaga keuangan domestik, dan dari sisi politis memperburuk citra Indonesia dimata internasional. Masuknya Indonesia dalam black list ini disebabkan karena tingginya angka korupsi, perdagangan narkotika, drugs dan psikotropika, illegal logging, penyelundupan orang dan barang, trafficking dan smuggling.
Lalu apa yang dimaksud dengan money laundering itu? Tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang disebut pencucian uang atau money laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara yang telah maju, dan negara-negara dari dunia ketiga, masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Definisi untuk tujuan penuntutan lebih sempit dibandingkan dengan definisi untuk tujuan penyidikan.
Prof. Sutan Remi Sjahdeini, salah seorang pakar hukum perbankan di Indonesia mengemukakan bahwa pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.
Definisi diatas cukup lengkap namun terlalu panjang, untuk itu penulis secara singkat menyimpulkan bahwa pencucian uang (money laundering) adalah upaya untuk melegalkan penghasilan illegal (legitimizing illegitimate income). Penghasilan illegal tersebut berasal dari hasil tindakan-tindakan kejahatan berupa : korupsi, penyuapan, penyelundupan, transaksi perbankan, pasar modal, asuransi, narkotika, psikotropika, terorisme, pemalsuan uang, judi dan atau prostitusi. Pasal 2 UU No.15 tahun 2002 mengkualifisir 24 jenis tindak kejahatan yang menjadi sumber asal terjadinya uang untuk tindakan money laundering.
Selanjutnya, apa dampak dari terjadinya pencucian uang itu? Pencucian uang membawa dampak yang sangat besar baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi hukum dan sosial. Dari sisi ekonomi, ia bisa menyebabkan instabilitas sistem keuangan, mendistorsi sistem persaingan bebas, mempersulit pengendalian moneter serta meningkatnya country risk. Faktanya dikehidupan sehari-hari, terjadilah peningkatan biaya sosial (social cost) diseluruh aspek kehidupan. Sedangkan dari sisi hukum dan sosial, pencucian uang mengakibatkan meningkatnya kejahatan baik kuantitas maupun kualitas yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial. Mengapa kejahatan meningkat? Karena uang hasil dari kejahatan itu akan dijadikan sebagai sumber dana terhadap kejahatan-kejahatan lainnya. Sehingga terjadilah lingkaran setan yang sulit diputus rangkaiannya.
Lalu mengapa tindakan pencucian uang menjadi marak dan tumbuh begitu subur ? Tentang hal ini Prof. Sutan Remi Sjahdeini menyatakan ada 9 faktor penyebabnya, yaitu :
1. Globalisasi, telah menghilangkan sekat-sekat dan isolasi antar negara, sehingga apa yang terjadi di belahan dunia yang satu pada saat yang bersamaan juga langsung sampai ke belahan dunia lainnya.
2. Kemajuan teknologi yang sangat cepat sangat memungkinkan terjadinya hal ini karena hampir tidak ada lagi aspek kehidupan yang tidak dijangkau dengan teknologi, khususnya teknologi informatika.
3. Ketentuan rahasia bank yang sangat ketat dari negara yang bersangkutan.
4. Dimungkinkannya oleh ketentuan perbankan seseorang menyimpan dana di suatu bank dilakukan dengan menggunakan nama samaran atau tanpa nama (anonim).
5. Munculnya jenis uang baru yang disebut electronic money atau E-money, yaitu sehubungan dengan maraknya electronic commerce atau e-commerce melalui internet. Money laundering yang dilakukan dengan menggunakan jaringan internet, yang disebut pula dengan Cyberspace, disebut Cyberlaundering.
6. Dimungkinkannya layering (pelapisan) dalam perbankan dimana pihak yang menyimpan dana di bank (nasabah penyimpan dana atau deposan bank) bukanlah pemilik yang sesungguhnya dari dana itu. Deposan tersebut hanyalah sekedar bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang itu di sebuah bank. Sering pula terjadi bahwa pihak lain tersebut juga bukan pemilik yang sesungguhnya dari dana itu, tetapi hanya sekadar menerima amanah atau kuasa dari seseorang atau pihak lain yang menerima kuasa dari pemilik yang sesungguhnya. Dengan kata lain, penyimpan dana tersebut juga tidak mengetahui siapa pemilik yang sesungguhnya dari dana tersebut, karena dia hanya mendapat amanah dari kuasa pemilik. Bahkan sering terjadi bahwa orang yang memberi amanat kepada penyimpan dana yang memanfaatkan uang itu di bank ternyata adalah lapis yang kesekian sebelum sampai kepada pemilik yang sesungguhnya. Dengan kata lain, terjadi estafet secara berlapis-lapis. Biasanya para penerima kuasa yang bertindak berlapis-lapis secara estafet itu adalah kantor-kantor pengacara.
7. Berlakunya ketentuan hukum berkenaan dengan kerahasiaan hubungan antara lawyer dan kliennya, dan antara akuntan dan kliennya. Dana simpanan di bank-bank sering diatasnamakan suatu kantor pengacara. Menurut hukum di kebanyakan negara yang telah maju, kerahasiaan hubungan antara klien dan lawyer dilindungi oleh undang-undang. Para lawyer yang menyimpan dana simpanan di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksa oleh otoritas yang berwenang untuk mengungkapkan identitas kliennya.
8. Karena pemerintah dari negara yang bersangkutan tidak pernah bermaksud bersungguh-sungguh untuk memberantas praktik-praktik money laundering yang dilakukan melalui sistem perbankan di negara tersebut. Dengan kata lain, pemerintah yang bersangkutan memang dengan sengaja membiarkan praktik-praktik money laundering itu berlangsung di negara tersebut, karena negara yang bersangkutan memperoleh keuntungan dari dilakukannya penempatan uang-uang haram itu di perbankan negara tersebut. Keuntungan yang diperoleh misalnya, terkumpulnya dana di perbankan negara tersebut yang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan, atau terkumpulnya dana itu memungkinkan perbankan negara tersebut memperoleh banyak keuntungan dari penyaluran dana itu, yang lebih lanjut akan dapat memberikan kontribusi berupa pajak yang besar kepada negara.
9. Karena tidak dikriminalisasikannya perbuatan pencucian uang di negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, negara yang bersangkutan tidak memiliki undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang menentukan perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana. Belum adanya undang-undang tentang pemberantasan tindak pencucian uang di negara tersebut biasanya juga karena adanya keengganan dari negara tersebut untuk bersungguh-sungguh ikut memberantas praktik money laundering di negaranya masing-masing.
Kembali ke Indonesia, pertanyaan bagi kita ialah bagaimana mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi angka praktek pencucian uang ? Secara kelembagaan, berdasarkan UU No.15 tahun 2002, presiden memang telah membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga independent yang bertugas khusus sebagai lembaga sentral intelligent keuangan, regulator dibidang anti pencucian uang serta sebagai focal point pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam rangka tugas-tugas ini PPATK akan melakukan analisis keuangan (analisa atas cash flow) dari siapapun berdasarkan laporan-laporan dari penyedia jasa keuangan (PJK) seperti bank, pasar modal, asuransi dan lain-lain. Selanjutnya hasil analisis ini akan diserahkan kepada penyidik dan penuntut umum untuk dilakukan proses hukum selanjutnya.
Dari data PPATK per tanggal 16 April 2007, telah masuk laporan 8.168 kasus, seluruhnya dari PJK yang didominasi dari PJK perbankan. Dari masyarakat umum baik perorangan maupun kolektif belum ada laporan. Dan dari angka itu telah dianalisa oleh PPATK sebanyak 705 kasus, dan 466 kasus diantaranya telah diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk di proceed. Ini menunjukan bahwa selama adanya PPATK telah cukup direspons oleh PJK-PJK yang ada, tetapi itu belumlah cukup mengingat tingginya angka kasus-kasus hukum seperti korupsi, narkoba, penyelundupan, dan lain-lain saat ini. Untuk itu sangat diharapkan dukungan, peran serta partisipasi aktif dari semua pihak baik dari PJK maupun masyarakat umum untuk aktif melaporkan adanya indikasi mencurigakan telah terjadinya praktek pencucian uang. Tak perlu segan atau takut memberikan laporan adanya indikasi praktek pencucian uang, karena pelapor sepenuhnya dilindungi oleh UU. Negara akan memberikan perlindungan baik terhadap diri pribadi maupun terhadap keluarga pelapor. Mekanisme perlindungan ini secara rinci terdapat dalam UUNo.15 tahun 2002 yang telah diubah dengan UU N.25 tahun 2003 dengan pembiayaan oleh negara. Jadi ingin penulis sampaikan bahwa keberhasilan kita menekan angka kejahatan pencucian uang di Indonesia tidak semata menjadi tanggung jawab PPATK tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama seluruh warga Negara Indonesia, tidak terkecuali. Spirit anti money laundering (AML) perlu ditumbuh-kembangkan diantara kita. Perlu sinergis yang lebih efektif antara PPATK, penegak hukum dengan seluruh warga Negara Indonesia. Diharapkan dengan partisipasi aktif ini tidak akan terjadi lagi kasus-kasus kebocoran dana Negara sehingga pembangunan disegala bidang demi kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia kembali kepada track yang sebenarnya.

Tidak ada komentar: